Random Talk #01 : Sutradara
October 05, 2019
"Hai semuanya, nama gue Putik. Job Desc gue sutradara."
Kalimat itu gue ucapin setahun yang lalu mungkin, gue bukan expert dalam film ya, tapi bukan berati gue buta dalam perfilm-an. Gue cuma mau sharing aja gimana rasanya jadi sutradara yang filmnya ditonton khalayak ramai padahal gue cuma bagian dari keluarga besar sinema 60.
Pertama kali gue jadi bagian dari Sinema 60 gue memilih untuk jadi sutradara. Yang terbesit dibenak gue ketika mendengar kata sutradara berati jantung sebuah film, tetapi itu pendapat gue pribadi ya. Karena dalam suatu film semua yang terlibat itu penting. Mulai dari penulis naskah, produser, editor, penata artistik, dan lainnya.
Gue mikir kalau jadi sutradara seenak itu, karena ini film gue, jadi terserah gue. Suka-suka gue juga bakal kayak gimana hasilnya.
Karena terlalu menganut paham "terserah sutradara" gue jadi bikin film kewalahan sendiri. Waktu itu salah satu program sinema 60 3MMC atau three minute movie challange. Disitu kita buat short movie dengan durasi 3 menit. Pada tahap produksi gue semangat 45. Castnya siapa aja deh yang mau, gaperlu yang namanya breakdown script, menyusun director shot/shooting script, apalagi bikin storyboard film. Kerajinan menurut gue.
Alhasil setelah film itu ditayangkan gue rasanya mau ngumpet di balik tembok cina atau sekalian pindah aja lah gue ke mars. Gue se-shock itu melihat hasil karya gue sama temen-temen gue. Satu-satunya yang bisa dibanggain cuma poster film, itupun hasil karya temen gue yang berhasil masuk nominasi poster terbaik. Sekali lagi, temen gue. Bukan gue.
Darisitu gue malu banget, semalu itu, sampai akhirnya gue belajar bagaimana jadi sutradara yang baik mulai ikut mentoring sampe ikut workshop. Dan gue beruntung banget kalau kakak kelas gue di sinema 60 sebaik itu, mau ngebantu gue dan temen-temen gue.
Gue belajar untuk jadi sutradara yang tanggung jawabnya besar, karena sutradara itu orang yang bertanggung jawab mulai dari pra-produksi, produksi, dan pasca produksi. Selain itu sutradara juga orang yang memvisualisasikan sebuah naskah menjadi suatu karya yang wah.
Sebelum produksi, sutradara harus sudah bisa memvisualisasikan apa yang ada dikepalanya membayangkan dari awal sampai akhir atau biasa disebut visi. Apalagi storytelling nya harus dapet karena film sebagai wadah sutradara bercerita. Penggunaan shot nya harus memiliki arti serta emosi yang ditimbulkan, bukan hanya ingin terlihat keren semata.
Gue belajar tipe-tipe shot, mulai dari untuk apa sih close up, wide shot, over shoulder shot, dan masih banyak lagi. Gue juga belajar untuk bikin storyboard. Selain itu, gue juga belajar departemen yang lain, gue belajar teknik-teknik dasar editing, belajar juga jadi anak art dan script writer, dengan begitu gue lebih mudah menyampaikan visi gue ke temen-temen yang lain.
Lantas bagaimana film gue selanjutnya?
Secara teori harusnya bagus dong, kan gue udah belajar ilmunya. Apalagi naskah yang diangkat bikinan gue sendiri, dan filmnya bergenre horror, which is genre favorit gue.
Lagi-lagi gue kecewa dengan diri gue sendiri, gue merasa film gue ga layak tayang, editor gue juga pasti muak ngerjain project yang emang jelek. Sementara itu, gue masih memaksa dia untuk memperbaiki kesalahan gue, yang sebenernya udah gabisa ditolong.
Gue ga nyerah gitu aja, gue tetep usaha untuk cari referensi, gue tonton film dari mancanegara, gue belajar dari kesalahan-kesalahan gue sebelumnya.
Gue produksi film lagi, dan ya gagal lagi.
Sampai akhirnya pelatih sinema gue membangkitkan semangat gue, beliau bilang film yang kita produksi bisa dikirim ke festival, terlepas dari bagus atau enggaknya.
Gue semangat banget, gue merasa gue harus lakuin semua yang gue bisa. Film tersebut kelar dalam sehari, iya sehari.
Waktu produksinya selesai gue seneng banget, sebahagia itu sampe gue lupa kalau gue harus melakukan evaluasi materi editing yang udah diedit, koreksi warna, dan ilustrasi musik, itu tingkat short movie, gue ga kebayang gimana film layar lebar.
Lanjut ya, gue bahagia banget karna hasilnya ga terlalu mengecewakan. Berdasarkan saran pelatih gue, gue pun memberanikan diri untuk mengirim film ke festival lampung, walaupun ga juara karena saingannya yang gila, gue tetep bahagia karena kata pelatih gue setidaknya film gue ditonton sama khalayak ramai.
Setelah gue evaluasi, ternyata masih ada lagi kesalahan gue yaitu transisi. Transisinya kayak power point terlalu banyak fade black. Ya kali ini setidaknya gue berani nampilin muka atas karya gue dan temen-temen yang lain.
Itu semua gue anggap pelajaran yang berharga, walaupun berat, gue ga nyesel untuk jadi sutradara. Gue bahagia buat sharing ilmu gue ke temen-temen yang lain. Gue bukan sutradara yang hebat, yang filmnya dikenal sama semua orang tapi gue bangga dengan karya gue sendiri dan mau berkarya lebih, semakin gue belajar dan mencari tau, gue semakin sadar kalo ilmu gue secetek itu.
Intinya, jangan pernah menyerah. Kalau gagal coba lagi, belajar lagi, evaluasi kesalahan, just do it!, untuk menduduki puncak pasti harus menginjak hal-hal dasar bukan?.
Lagi-lagi gue kecewa dengan diri gue sendiri, gue merasa film gue ga layak tayang, editor gue juga pasti muak ngerjain project yang emang jelek. Sementara itu, gue masih memaksa dia untuk memperbaiki kesalahan gue, yang sebenernya udah gabisa ditolong.
Gue ga nyerah gitu aja, gue tetep usaha untuk cari referensi, gue tonton film dari mancanegara, gue belajar dari kesalahan-kesalahan gue sebelumnya.
Gue produksi film lagi, dan ya gagal lagi.
Sampai akhirnya pelatih sinema gue membangkitkan semangat gue, beliau bilang film yang kita produksi bisa dikirim ke festival, terlepas dari bagus atau enggaknya.
Gue semangat banget, gue merasa gue harus lakuin semua yang gue bisa. Film tersebut kelar dalam sehari, iya sehari.
Waktu produksinya selesai gue seneng banget, sebahagia itu sampe gue lupa kalau gue harus melakukan evaluasi materi editing yang udah diedit, koreksi warna, dan ilustrasi musik, itu tingkat short movie, gue ga kebayang gimana film layar lebar.
Lanjut ya, gue bahagia banget karna hasilnya ga terlalu mengecewakan. Berdasarkan saran pelatih gue, gue pun memberanikan diri untuk mengirim film ke festival lampung, walaupun ga juara karena saingannya yang gila, gue tetep bahagia karena kata pelatih gue setidaknya film gue ditonton sama khalayak ramai.
Setelah gue evaluasi, ternyata masih ada lagi kesalahan gue yaitu transisi. Transisinya kayak power point terlalu banyak fade black. Ya kali ini setidaknya gue berani nampilin muka atas karya gue dan temen-temen yang lain.
Itu semua gue anggap pelajaran yang berharga, walaupun berat, gue ga nyesel untuk jadi sutradara. Gue bahagia buat sharing ilmu gue ke temen-temen yang lain. Gue bukan sutradara yang hebat, yang filmnya dikenal sama semua orang tapi gue bangga dengan karya gue sendiri dan mau berkarya lebih, semakin gue belajar dan mencari tau, gue semakin sadar kalo ilmu gue secetek itu.
Intinya, jangan pernah menyerah. Kalau gagal coba lagi, belajar lagi, evaluasi kesalahan, just do it!, untuk menduduki puncak pasti harus menginjak hal-hal dasar bukan?.
4 comments
Good sekali mamank
ReplyDeleteMantap Mamank
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteTerharu:')
ReplyDelete