Di sisi kiri, terlihat dua pasangan sejoli. Ayolah, kau tidak boleh mengatakan bahwa aku berprasangka buruk atau curiga yang tidak-tidak. Aku yakin betul bahwa gadis itu bersama belahan jiwanya, bukan sekadar teman, sahabat, ataupun kakak kandung, kakak sepupu, apalah istilahnya. Intinya, perlakuan yang diberikan berbeda dan itu sangat jelas terlihat. Aku merasa tertekan, ternyata perpustakaan bisa dijadikan sebagai tempat kencan.
Cih, malas melihat adegan Cinta dan Rangga, lebih baik berbelok ke bilik Sastra Indonesia.
Di sana, sekumpulan gadis remaja sibuk memperagai orang yang sedang mengambil buku, dibantu temannya untuk mengabadikan momen tersebut.
Di sisi lain, terdapat pria yang sudah menaruh tripod dengan manis nya, oh Tuhan.
Bagian mananya dari kata perpustakaan yang kalian tidak paham?
Aku pergi mengambil buku bacaan yang akan ku baca dan memilih tempat dipojok dengan jendela, dengan alasan aku tidak perlu berinteraksi dengan orang sekitar, alasan kedua yang sebenarnya merupakan alasan utama karena ada tempat charger, semua tau itu.
Ku ambil buku, kemudian kubaca lembar demi lembar, cekikikan. Di samping ku, terdapat ibu yang sedang membacakan cerita kepada anak kecil, sungguh tenang batinku.
Ah iya, aku lupa bercerita tentang orang-orang yang menemaniku.
Tentu saja ibuku serta adikku yang pergi karena ada ruangan bermain anak-anak yang dia tonton di televisi.
Sudah buang saja asumsi tentang ibu yang sedang membacakan cerita kepada anak kecil itu adalah ibuku.
Sejujurnya aku tidak berharap banyak dengan wanita usia senja yang membaca buku Sangkuriang. Sekali lagi, membaca buku Sangkuriang yang rasanya sudah dibacakan sejak dini, ratusan kali. Sulit untuk kupercayai, tetapi ibu saya sendiri hanya membaca cerita Tangkuban Perahu itu di perpustakaan yang kami tempuh sejauh lebih dari 20km dari rumah. Bagaimana dengan adikku? Ya dia menjalani perannya sebagai anak kecil yang menghidupkan suasana perpustakaan.
Setelah menghabiskan sekitar dua jam, kala itu hujan, aku jadi terbawa suasana, sepertinya bagus apabila aku mengambil dokumentasi, setidaknya memberitahukan penduduk bumi bahwa aku pernah mampir di tempat ini.
Aku mengeluarkan gawai untuk mengambil gambar dari berbagai sisi, walau bukan fotografer yang handal, tapi aku paham komposisi. Seketika pria berkalung yang kuyakini sebagai petugas mencolek ku pelan.
"Permisi kak, ini buku kakak?" Sambil melihat buku bergambar dinosaurus di depan ku, lebih tepatnya arah barat laut.
"Bukan" jawabku kikuk.
"Saya ambil ya."
"Silahkan."
Ah tidak, aku tidak tau bagaimana cara menggambarkan rasa malu yang kualami, dari sekian banyak waktu, kenapa harus datang disaat aku sedang memotret.
Aku menyesalinya karena saat ini aku merasa seperti bagian dari mereka, yang tidak paham dengan konsep perpustakaan.
**
Hai! Kangen banget nulis di blog berdebu ini. Maaf penulisnya hiatus, kira-kira udah dua tahun ya? Ya intinya ini pengalamanku pergi ke perpustakaan yang hits itu loh. Aku baru nyadar, cerita aku julid banget ya HAHAHAHAH. No offense to anyone yang menjadikan perpustakaan menjadi bahan estetika foto, sejujurnya ibu saya yang membaca cerita Sangkuriang sampai khatam itu pun waktu pertama kali datang langsung memotret kami bersama patung Ismail Marzuki, baiklah. Toh semua orang punya kepentingan dan kebahagiannya masing-masing dan tidak ada yang salah dengan hal itu :). Jadi, kalau kamu sendiri udah mampir belum?